Melawan K(otak) Kosong

Dilematis antara memilih satu atau tidak sama sekali

Muhammad Naufal
4 min readNov 16, 2019
Gambar didapat di www.uzone.id

Kontestasi pemilihan presiden mahasiswa atau biasa disebut Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa/Kabem menjadi ajang yang ditunggu-tunggu oleh beragam tingkatan mahasiswa. Mulai dari mahasiswa baru yang masih mencari jati diri serta masih tenggelam dalam euforia akibat diterima di Perguruan Tinggi Negeri sampai mahasiswa semester akhir yang sibuk dengan penelitian serta revisi yang tak kunjung selesai atau bahkan melarikan diri dari skripsi.

Masalahnya adalah hajat setahun sekali yang diselenggarakan oleh panitia pemilihan raya/Pemira kadang minim peminat alias tidak ada yang berani untuk mencalonkan diri sebagai Ketua BEM. Hal tersebut seringkali membuat pencalonan Ketua BEM secara terpaksa hanya mengeluarkan satu nama alias calon tunggal. Untuk itu, mau tidak mau calon tunggal harus memenangkan pemilihan tersebut.

Kotak kosong, Pilihan atau Putus asa?

Calon Ketua BEM tunggal pun memikul beban lebih berat, karena dia harus mempromosikan visi,misi serta grand design organization. Calon Ketua BEM harus mengupayakan supaya mahasiswa tertarik untuk memilih dia dan jangan sampai kotak kosong keluar sebagai pemenang. Mirisnya, karena calon tersebut tidak memiliki rival akhirnya tidak memiliki pembanding yang mengakibatkan minim eksplorasi terhadap isu-isu terkini dan juga permasalahan yang dihadapi oleh mahasiswa itu sendiri selama satu tahun kepengurusan sebelumnya yang mungkin saja belum terselesaikan sampai akhir masa kepengurusan. Karena kekurangan-kekurangan tersebut nampak, akhirnya muncul ketidakpuasan terhadap calon tunggal tersebut yang mengakibatkan mahasiswa beralih untuk memilih kotak kosong.

Tagline ‘Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi mencegah yang terburuk berkuasa’ (dalam pemilihan secara nasional, tagline ini muncul) menjadi senjata andalan dalam kondisi seperti ini. Bagaimana tidak, hal tersebut adalah cara paling mudah dan paling praktis untuk menghalau gelombang golongan putih/golput yang presentasinya mungkin sedikit namun tetap berpengaruh dalam pengerukan suara bagi masing-masing calon. Apalagi kalau calonnya cuma satu, bukankah lebih sulit menghadapi hal tersebut. Terlebih yang dipromosikan untuk menjadi ketua pun hal yang itu-itu saja. Tidak ada inovasi, tidak ada perubahan, minimal penguatan bidang/lembaga yang sudah ada. Tapi malah membuat bidang/lembaga baru yang terkesan sama dengan bidang/lembaga yang telah dibuat oleh kepengurusan sebelumnya. Mungkin hanya pemenuhan standar yang ditetapkan oleh panitia agar terkesan ada inovasi.

Tagline yang tidak kalah asyik adalah ‘If we have two evils to choose, we should to choose the lesser evil’. Kalau hal tersebut sampai dilontarkan oleh kandidat, maka secara tidak langsung dia berkata bahwa dia juga termasuk orang jahat dan menganggap pilihan lain lebih jahat dibandingkan jika memilih dia. Bubarkan saja kandidat seperti itu. Bukannya meningkatkan kualitas yang dimiliki malah mengaku bahwa dirinya jahat dan orang lain lebih jahat dibandingkan dirinya. Omong kosong!

Ini salah siapa, ini dosa siapa. Anda tak bisa jawab, saya pun geleng kepala — Pengamen Jalanan

Sadarlah, bahwa masing-masing dari kita dianugerahkan untuk memiliki akal untuk berfikir. Masih ada jalan untuk memperbaiki citra diri dalam memenangkan setiap kontestasi politik. Perkuat substansi dari materi yang ingin disampaikan dan sampaikan materi itu secara tegas dan yakin. Peduli dengan isu terkini dan jika tidak mampu untuk mengemban itu semua maka buatlah tim pendukung yang membantu dalam setiap proses sampai pada hari pemungutan suara. Pilihlah orang-orang terbaik dan sesuaikan dengan bidang yang bisa dipikul orang tersebut. Buat narasi yang menarik dan kreatif dan masih banyak cara untuk bisa memenangkan kontestasi politik kampus.

Jangan sampai karena kosongnya otak kita membuat kotak kosong menjadi juara.

Jika kotak kosong tetap juara, lantas bagaimana?

Aklamasi, yang artinya pernyataan setuju secara lisan dari seluruh peserta rapat dan sebagainya terhadap suatu usul tanpa melalui pemungutan suara (KBBI Daring). Lebih kacau lagi kalau hal semacam ini terjadi, bagaimana tidak, calon yang mengajukan diri yang sudah susah payah membuat segala sesuatunya dari mulai pembuatan visi misi sampai kampanye saja ditolak karena tidak mampu memuaskan keinginan mayoritas pemilih jika dia menjadi ketua BEM. Kita tidak tahu siapa yang akan menggantikan Ketua BEM karena rapat tersebut tertutup. Bagaimana jika orang yang terpilih melalui aklamasi menjadi Ketua BEM tidak siap dan tidak yakin. Bukankah hal tersebut malah membuat organisasi BEM kacau. Memilih enggan, kotak kosong bukan pilihan, aklamasi pun tidak mau.

Ini menjadi pekerjaan rumah bersama dalam pengorganisasian kampus bagi seluruh mahasiswa. Jangan menganggap menjadi ketua hanya sebatas eksistensi atau pamer ketenaran semata. Tugas ketua berat karena harus mendidik anggota supaya disiplin dalam setiap pelaksanaan tugas agar tidak membebani kinerja dan menghambat organisasi. Jangan sampai anggota menjadi benalu dan hanya membebani tugas ketua. Jika tidak bisa profesional dalam bekerja, lebih baik mengundurkan diri dan belajar kembali tentang tata cara organisasi yang baik dan benar.

Sebelum ditutup, sebenernya kita permasalahkan otak kosong atau kotak kosong sih? yang jelas saya tidak mempermasalahkan anda yang tidak peduli terhadap apa saja yang terjadi di kampus. Namaste.

--

--